Tampilkan postingan dengan label Ilmu Pengetahuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Pengetahuan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 September 2017

Ganggang Laut, Bahan Pembuat Agar-Agar


YukViral - Kita pernah mendengar kabar mengenai adanya usaha yang dinamakan: bercocok tanam di laut. Yang dimaksud di sini adalah penanaman ganggang atau alga di dalam laut yang antara lain dilakukan di perairan Teluk Jakarta. Ganggang laut sering diberi nama rumput laut.

Ganggang laut tidak hanya terdapat di laut Jawa, tetapi juga di perairan Madura, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Di daerah-daerah tersebut penduduk yang tinggal di pantai sering mengambil ganggang laut untuk keperluan sendiri atau diperdagangkan sebagai bahan ekspor.

Alga atau ganggang laut adalah tumbuh-tumbuhan berderajat rendah dan tergolong dalam keluarga ganggang merah atau Rhodophyceae. Tanamannya bersel banyak, berbentuk benang lunak dengan cabang-cabang menyerupai ranting-ranting pohon. Hidup di laut atau kolam-kolam dan danau yang airnya jernih. Disebut ganggang merah karena selain zat hijau daun (klorofil), alga ini juga mengandung zat warna merah.


Ganggang merah berbiak dengan mempergunakan spora. Akan tetapi di dalam usaha bercocok tanam yang dilakukan di laut, ganggang dibiakkan dengan bagian-bagian batang. Potongan-potongan tanaman diikatkan pada batu-batu karang atau ditancapkan dalam pasir dengan mempergunakan semacam sasak. Laut tempat menanam alga, mempunyai kedalaman antara setengah sampai dua meter. Nelayan, petani atau penanam harus menyelam untuk menumbuhkan ganggang di dasar perairan.


Di Indonesia diketemukan beberapa jenis ganggang dengan nama-nama sendiri menurut daerahnya. Misalnya agar-agar, jahe, geranggang dan agar-agar halus. Yang ditanam di Pulau Pari, Teluk Jakarta adalah jenis agar-agar kasar, Euchema spinosum.

Ganggang laut bisa dimakan dan mempunyai zat gizi yang baik. Di dalam industri, ganggang dipergunakan sebagai bahan pembuat alat-alat, kecantikan, pengobatan, atau diolah sebagai makanan yang disebut agar. Agar juga dipakai sebagai tempat menumbuhkan bakteri atau jasad-jasad renik lainnya untuk keperluan penelitian di labor atorium.

Di dalam industri, ganggang yang telah dikeringkan, diolah lebih dulu untuk menghilangkan bau yang amis. Maksudnya agar apabila dibikin kue atau bahan makanan lain, rasanya yang enak oleh lidah tidak terganggu oleh hidung. Juga dibubuhi zat pemutih agar warnanya jernih keputih-putihan.

Hasilnya adalah agar-agar kering seperti yang banyak dijual dalam bentuk batangan di pasar-pasar, atau berupa tepung di dalam kaleng dan kantong-kantong plastik.

Penduduk di beberapa tempat dapat pula membuat kue agar-agar atau podeng secara sederhana. berasal dari ganggang laut. Tanaman yang baru dipungut dari dasar laut dicuci dan dijemur berulang-ulang. Setelah bersih dan warnanya putih. ganggang lalu direbus dengan air. Ke dalamnya ditambahkan air gula dan santan.

Setelah menjadi bubur lalu diangkat dari api dan disaring dengan kain atau saringan halus. Bubur yang telah bersih ini didiamkan beberapa saat sampai menjadi dingin. Nah sekarang diperoleh agar-agar yang siap untuk dihidangkan.

Sabtu, 19 Agustus 2017

Vaksin Asma Bisa Hambat Penyakit Hepatitis A?

YukViral - Asma, salah satu penyakit saluran pernapasan, bisa diderita oleh semua orang di berbagai belahan dunia. Jumlah penderita asma di dunia mencapai 100-150 juta orang, sedangkan di Indonesia mencapai 2 juta orang lebih.

Penyakit yang memiliki gejala dada sesak dan napas berbunyi (mengi) ini disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Kedua faktor tersebut saling berkaitan dalam mekanisme timbulnya gejala asma.

Bagaimana seseorang bisa terkena penyakit asma? Secara normal, tubuh manusia membentuk dua tipe helper T cells yaitu helper T cells tipe 1 dan 2 yang berada dalam jumlah yang seimbang. Helper T cells ini berfungsi sebagai pembantu dalam pembentukan sistem pertahanan tubuh.


Pada penderita asma, jumlah helper T cells tipe 2 (Th2) lebih dominan karena dipicu oleh alergen, penyebab alergi. Th2 akan menstimulasi pembentukan antibodi, IgE, yang akan berinteraksi dengan alergen sehingga menghasilkan protein-protein. Salah satunya histamin yang menstimulasi produksi lendir oleh sel-sel pada sistem pernapasan yang pada akhirnya menimbulkan gejala asma.

Penanganan asma saat ini kurang efektif karena bersifat menghilangkan gejala, bukan mengobati. Oleh karena itu, penanganan tersebut harus dilakukan secara kontinu dan memakan biaya yang sangat besar.

Data terakhir menunjukkan, biaya penanganan asma lebih besar daripada biaya penanganan AIDS yang digabungkan dengan TBC. Akhir-akhir ini peneliti mencari penyelesaian lain bagi asma yang memiliki sifat mengobati lewat terapi imunologi. Terapi ini bisa menimbulkan sistem pertahanan tubuh guna menghadapi munculnya sebuah penyakit.

Para peneliti dari Universitas Stanford telah berupaya untuk mengembangkan metode tersebut dengan berbekal hasil penelitian yang telah dilakukan. Sarah Umetsu dan rekannya telah mengetahui bagaimana gejala asma terjadi pada tubuh suatu individu.

Percobaan yang dilakukan terhadap tikus menghasilkan penemuan yang sangat penting. Mereka menemukan gen yang berhubungan dengan penyakit asma yang termasuk ke dalam TIM family genes, lebih tepamya gen pengode reseptor TIM-l.

Reseptor TIM-1 meupakan suatu polipeptida yang berfungsi sebagai tempat pengikatan (adsorpsi) virus hepatitis A pada helper T cells tipe 2. Mereka meyakini bahwa pengikatan virus hepatitis A pada reseptor TIM-l menghasilkan suatu interaksi yang dapat menghambat mekanisme terjadinya penyakit asma.

Keyakinan ini didukung oleh fakta yang terjadi di Amerika Serikat selama 20 tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut, Amerika telah berhasil meningkatkan higienitas dan menekan terjadinya kasus infeksi seperti hepatitis A. Narnun, upaya  pemerintah AS ini justru menyebabkan peningkatan kasus asma.

Selain didukung data historis, mereka juga melakukan pengujian terhadap 65 orang yang pernah mengidap hepatitis A dan memiliki reseptor TIM-1 yang mengalami insersi. Sekira 52% dari jumlah tersebut resisten terhadap penyakit asma.

Hasil dan penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan vaksin asma. Penerapan vaksinasi dalam penanganan penyakit asma diharapkan dapat meneegah munculnya penyakit asma sejak dini. Sebagaimana peribahasa sambil menyelam minum air, vaksin asma ini diharapkan juga dapat melindungi terhadap hepatitis A. [Sumber: Budiwan Permana/Mahasiswa Kimia ITB]

Ethnobotany and Biodiversity Property Rights : A Point of View

YukViral - The problem of Biodiversity Property Rights (BPR) has been the focus of many formal and informal discussions at national and international fora in the last two years (WRI, 1992; Plotkin & Famolare (eds), 1992; Gore, 1992; Bedford and paddoch (eds.), 1992; Cunningham, 1992; Gamez, 1992,), but many questions still remain.unanswered.

With the establishment of the Biodiversity Convention in Rio de Janeiro (June 3-15, 1992), the different positions of the developed countries regarding the Convention, including the refusal of the USA to sign it and consequently the reactions in many developing countries have contributed to increase the controversial and polemic discussion about BPR more than ever before. Confusion and misconceptions of terms result from this situation and clear guidelines are needed to assist the official agencies responsible for the development of policies, the implementation for biodiversity management programs, regulation for research, definitions of conservation strategies and the sustainable use of biological resources.

The Global Biodiversity Strategy (WRI, 1992) provides such guidelines with possible actions that could help to address appropriately the development of new policies and legislation to protect the ownership and control over biological diversity. BPR refer, for instance to the fact that 'national governments should assert their right to control the genetic resources that they hold, consider establishing property rights regimes, and carefully regulate the collection of plants, animals and microorganisms, particulary those collected for commercial purposes (WRI, 1992). Another aspect of biodiversity property rights is related to "Intellectual Property Rights" (IPR): "IPR for the innovations made by plant bleders, researchers, pharmatical firms, and chemical coumpanies", and woveouw indigenous traditional knowledge over the use of plants and animals or the knowledge of traditional healers concerning medicinal plants" (WRI, 1992; Elisabetsky, 1991). I believe that the debate on IPR is more complicated, especially concerning the "indigenous intellectual property rights". There is no clear answer to how local people should get benefits in the case of patents, royalties or compensations with the commercialization of biological diversity. 


Sebuah jenis sumberdaya hayati sering hanya terdapat di suatu tempat (negara) tertentu saja. Contohnya Solanum nigrum (Lenca). Lantas, siapakah yang lebih berhak mengembangkannya?

Even more important than the control, commercialization and profit of biological divesity are the questions of how to preserve it and how to use it sustainably in benefit of present and future generations. Because we can only preserve and use what we know, researchers and field workers are playing an important role in inventoring, collecting and documenting information on the "world's genetic resources". Within this frame, however, it is also important to identify the contributions of the Ethnobotany as the "Science of the interaction between people and plants" or in other words "the study of native people's systematic knowledge of plants". The development of ethnobotanical research projects based on "professional ethics' that could have implications for a new orientation or alternatives regarding the issues of BPR and IPR are needed. As recommended in the Declaration of Panama "ethnobotanists and biologists documenting the biodiversity and cultural uses of tropical rain forest should acknowledge the intellectual contribution of forest peoples to the expansion of scientific knowledge of tropical biodiversity. They should act as mediators in assisting the local people (their collaborators) in tropical rain forests to gain recognition for their knowledge and receive equitable compensation for their use of their intellectual property. The repatriation of that knowledge to the countries, regions, and communities in which fieldwork is carrier out, should be ensured in the form of environmental education, publications, monographs, bibliographic materials, etc." (Platkin & Famolare, 1992).

Other initiatives in the same context are taking pleace within the Society for Economic Botany (SEB) and the International Society for Ethnobiology (ISE) in establishing "ethics committees to develop professional codes' (Boom, 1990). Cunningham (1992) presented at a Workshop at the Third International Congress of Ethnobiology (Mexico, Nov. 10-14, 1992) a discussion paper "Botanists, Brokers and Biodiversity" with a good comprehensive picture about the current status of Ethnobotany and BPR. In a more pragmatic way, developing countries rich in biodiversity should adopt common policies to lood for better recognitions of the BPR and establish collaborative projects and appropriate agreements for research programs with developed countries to achieve a new status for the protection of biological diversity. Within developing countries South-South cooperation can be encouraged for ethnobotanical studies and development of natural products. We should be aware that this cooperation will be successful only if the countries in capacity to do research within the framework of such linkages will get more attention. Some efforts in this direction have been made:
  • The ethnobotanical approach in the Kayan-Mentarang Project, East Kalimantan. This project is a cooperative effort by World Wide Found for Nature (WWF), PHPA and the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).
  • The Belize-ethnobotany project (Balick, 1992).
  • The ethnobotanical approach of the TRAMIL-Program, as a Inter Carribbean research program (Lagos-Witte, 1992; Robineau, 1991).
  • The ethnobotanical exchange between Asia and Amazonia : The UNDP-initiative.
  • The people and plants project : WWF/UNESCO/Kew Initiative on ethnobotany and sustainable use of plant resources (to be continued).

References:
  • Balick, M.J. 1990. Ethnobotany and the identification fo therapeutic agents from the rainforest, p. 22-31 in : Bioactive compounds from plants, Chadwick, D.J. and J. March (eds), 1990 Ciba Foundation Symposium No. 154, J. Wiley and Sons, Chichester, England.
  • Boom, B.M. 1990. Giving native people a share of the profits. Garden 14 (6) : 28 : 31.
  • Cunningham, A.B. 1992. Botanists, Brokers and Biodiversity. Discussion paper presented at the workshop of the Third International Congress of Ethnobiology, Mexico, Nov. 1992. 
  • Elisabetsky, E. 1991. Folklore, tradition, or Know-how?. The ethnopharmcological approach to drugdiscovery depends on our ability  to   value non-Western knowledge of medicinal plants, in : The politics of ownership, Cultural Survival Quarterly, Summer 1991.
  • Ethnobotanical Exchange between Asia and Amazonia, Final Report, 1991. United Nations Development Programme. Special Unit for Technical Cooperation among Developing Countries, Belem, Brazil.
  • Gamez, R. 1992. Biodiversity management in Costa Rica. Presentation in the Seminar on Biodiversity Management, Ministry of State for Population and Environment, KLH, Jakarta, Indonesia.
  • Global Biodiversity Strategy, 1992. Guidelines for action to Save, Study, and Use Earth's Biotic Wealth Sustainably and Equitably. World Resources Institute (WRI), The World Conservation Union (IUCN), United Nations Environment Programme (UNEP), in Consultation with FAO and UNESCO, p. 44.
  • Gore, A., 1992. Essentials for econnomic progress : Protect biodiversity and intellectual property rights. The journal of NIH Research, vol. 4.
  • Lagos-Witte, S. 1992. Ethnobotanical contributions to the TRAMIL-Program in the Caribbean Basin : The case of Honduras, p. 20-26 in : Sustainable Harvest and Marketing of Rain Forest Products. M. Plotkin and Famolare, L. (eds). Conservation International, Island Press, Washington, D.C., Covelo, California.
  • Plotkin, M. and Famolare, L. (eds.) 1992. Sustainable Harvest and Marketing of Rain Forest Products. Conslusions and Recommendations. p. 311. Conservation International, Island Press, Washington, D.C., Covelo, California.
  • Redford, K.H. and Padoch, Ch. (eds.) 1992. Conservation of Neotropical Forests. Working from traditional resources ase. 475p. Columbia University Press, New York.
  • Robineau, L (ed.) 1992 Towards a Caribbean Pharmacopeia. TRAMIL-4 Workshop, Tela, Honduras, 1989. Scientific research and popular use of medicinal plants in the Caribbean. Santo Domingo, Dominican Republic. 474p. 


Kumbang Tawon, Ahli Seleksi Madu Terbaik

YukViral - Kalau manusia butuh pakaian bagus, rumah aman, selain makanan cukup, maka binatang lebih bahagia. "Rumah" dan "pakaiannya" malah sudah diciptakan Tuhan secara alamiah dan luar biasa indahnya. Tapi kekurangannya dari manusia, makanannya tak beraneka. Tawon kumbang, misalnya. Mereka harus mencari madu dan tepung sari untuk kehidupan mereka. Untuk itu mereka harus mempertaruhkan hidupnya untuk makanan ini. Walau begitu, di antara penghisap madu, kumbang ini termasuk jago balap menghisap madu. Ini ada alasannya dan sedikit keterangan di bawah ini akan menerangkannya.

Dulu, pada tahun-tahun awal 60-an, anak-anak kecil di Jawa akan menyebut-nyebut 'Pait-pait-pait", kalau didekati tawon kumbang. Mereka menyebut kata "pait" ini agar si kumbang menjauh. Bukankah mereka cuma doyan yang manis-manis saja, seperti madu? Tapi itu pikiran sederhana anak-anak. Tawon kumbang mungkin tak tahu maksud anak-anak manusia itu. Yang mungkin terjadi, kumbang ini pergi karena takut pada manusia dan suara "pait-pait" yang cukup keras itu, melebihi suara dengungnya.


Di Inggris namanya bumblebee, yang kurang lebih berarti tawon berdengung, masuk kategori Bombus. Dengan sedikit perubahan bunyi, di Amerika kumbang ini dinamakan humblebee. Bentuk badannya khas. Besar, berbulu dan seringkali berwarna kombinasi hitam dan kuning. Tawon ini memang termasuk yang terbesar di antara tawon penghisap madu. Dengan besar badannya ini, tak heran kalau suara dengung pun paling keras dan mengesankan di antara para tawon.

Dengan badan yang besar, tentu Anda juga mengambil kesimpulan bahwa tenaganya pun paling besar. Tepat! Bahkan kumbang ini adalah kumbang dengan kecepatan menghisap madu yang tercepat. Dengan tenaga besar, kepakan sayap dapat dipercepat (mencapai 200 kali setiap detiknya), dan terbang pun dapat dipersingkat waktunya.

Tapi kemampuan ini ada syaratnya: gizi makanan yang istimewa. Gizi yang baik ini didapatnya dari madu dan tepung sari yang mengandung karbohidrat dan protein mutu tinggi. Ini berarti tidak sembarang madu bunga dihisapnya. Ya, mereka harus memilih. Memilih? Kalau begitu, mereka juga harus mengetahui banyak bunga untuk bisa menentukan madu bunga mana yang cocok untuk kebutunan tenaga mereka untuk terbang, menghisap madu dan berkelahi. Memang begitu. Tawon kumbang ini paling tidak mengunjungi sekitar 50 bunga, sebelum jadi "ahli seleksi madu terbaik". Setelah cukup mengenai bunga-bunga yang akan menjadi langganannya, kumbang ini pun mengembangkan "gaya" menghisap madunya.

Kamis, 17 Agustus 2017

Fluoride and Dental Health

Introduction
The relationship between dental caries and fluoride in the drinking water has been studied for more than four decades. In the temperate climates, the optimum amount of fluoride in drinking water for preventions dental caries without causing fluorosis has been recommended at 1 ppm.

Effective methods for the prevention of dental caries is the prime issue in preventive programs in most developing countries. Dental caries prevention through water fluoridation by adding fluorides to public water supply is considered one of the most effective method because of its convenience, economicality and effectiveness.

Sources of Fluoride
Fluoride is ubiquitous and present in all foods, but its content is exceedingly small in most foods. However, it is contained in relatively large amounts in some foods that are common to most diets. Sea foods are highest in fluoride value, some ranging from 6 to 12 mg per kilogram. Meats and chicken provide amounts in the range of 1 to 2 mg per kilogram. Cereals in general, provide 0.5 to 1.0 mg per kilogram and fruits and vegetables contain a similar amount. Milk both human and cow, contains 0.1 to 0.2 mg per liter. The main dietary item providing unusual amounts of fluoride is tea Dry tea leaves contain 30 to 60 mgm per kgm and the fluoride level in tea as customarily prepared is approximately the same as that in fluoridated water, 1.0 ppm. It has been shown, for example, that the fluoride of fish protein concentrate contained mostly in the bone fraction, is less than 50% available. There is no evidence that fluoride intake from dietary sources consistantly exceeds 0.5 ppm. Thus, diet alone does not allow for a level of fluoride intake that consistantly inhibits the occurrence of dental caries. However, with the use of fluoridated water, intake reaches 1.5 mg per day on the average, which is an effective level. The estimated total daily intake of fluoride by children 1 to 12 years of age from water containing 1 ppm is based on the dry-weight of food. The maximum levels of daily intake of children in four age groups divided as follows, 1 to 3 years, 4 to 6 years, 7 to 9 years and 10 to 12 years are approximately 0.83 mgm, .1.11 mgm, 1.38 mgm, and 1.73 mgm respectively.


Following the 5 year fluoridation study in the USA before 1951 with remarkably good results, by the use of about 1.0 ppm fluoride in drinking water was sufficient to reduce the prevalence of dental caries quite safely and without any objectionable mottling of enamel. This resulted in a fluoridation scheme for Singapore towards the end of 1951. The natural fluorine content of Singapore water was found to be 0.2 ppm and it was necessary to determine the optimum content for this tropical city which lies only 2° north of the Equator. It was than decied that it would be correct and safe to add sufficient fluoride to raise the evel to 0.7 ppm.

Ten years observation showed that fluoridation of drinking water in Singapore lowered the prevalence rate of dental caries of children in the 7 to 9 years age group, the primary dentition by 30.8%. For the permanent dentition, fluoridated water reduced the prevalence rate of dental caries from 2.9 mean DMF teeth per child 1957 to 2.0 mean DMF teeth per child 1966, a reduction of 31.0% in Malay children 7 to 9 years of age. The mean DMF teeth per child of Chinese children 7 to 9 years of age was reduced from 4.4 to 2.1 representing a reduction of 52.2%.

Fluoride Intake For Infants
Although there is no firm consensus on the maximum safe daily dosage of fluoride, a total intake of between 0.05 to 0.07 mgm of fluoride per kilogram body weight generally is regarded as optimum. The supplemental flouride during the first 6 months of life and its effect have not been clearly established, although it has been estimated that the maximum daily fluoride intake for infants 6 months of age is 0.094 mgm/kg or slightly above the optimal level. This has been shown that fluoridated water used during the processing can significantly increase the fluoride content of fruit juices, dry cereals and commercially prepared milk formulas, significantly increase the total fluoride intake up to 6 months of age.

The prophylactic effect of fluoride in the prevention of dental caries is well established and its effect is known to be greatest when teeth are exposed during the period of calcilication. Since much of the enamel of deciduous teeth calcifies prior to birth, the possible benefit from maternal ingestion of fluoride during pregnancy is a subject of both practical and theoretical interest.

Flouride As a Nutrient 
Fluoride is regarded as an essential nutrient and it is now well known to be effective in the maintenance of a tooth enamel that is more resistant to decay. It is a normal component of tooth enamel and bone. Studies in vivo and in vitro demonstrate that the calcified tissues of both enamel and bone are made up of a combination of hydroxyl and fluor apatites of varying composition, depending on the abundance of fluoride at the site of formation. These tissues are the principal sites of deposition of fluoride. As the plasma level of fluoride increases following absorption, fluoride is rapidly deposited in bony tissue, The hydroxyl ion hydroxy-apatite exchanges wM fluoride ion, and fluor apatite crystals are thus formed at the surface of bone and enamel.

Studies demonstrating the beneficial effect of fluoride in reducing the rate of dental caries under the guidance of the US Public Health Services about 1935 and continued until the mid 1950, demonstrated that the addition of fluoride to community drinking water at a level of 1 ppm led to a significant reduction in caries incidence. A summary of data from more than 7000 children in 21 different cities with fluoridated water supplies demonstrated a reduction of more than 60% in' the incidence of dental caries.

There is no precise agreement in which fluoride affects reduction in tooth decay. Probably, it is a combination of effects, but the most significatn is the assuring of a less soluble crystalline from of enamel. There is less evidence that fluoride exhibits a favorable or unfavorable effect on the gingival tissues or on the development of periodontal disease. But on the whole, fluoride is regarded as an essential nutrient and it is now well known to be effective in the maintenance of a tooth enamel that is more resistant to decay.

So far no arrangements have been made for the fluoridation of drinking water supplied to the public of Jakarta by Municipahty or national authorities. There is already ample evidence throughout the world of the effectiveness of fluoridation in controlling dental caries. Evaluation of 95 studies regarding the percentage caries reduction reported for primary and permanent dentitions, found that the reduction range for 55 studies giving results for primary teeth was 20 to 80% with a modal percent reduction of 40 to 50% (21 studies). For the permanent teeth the reduction range for the 72 studies was 20 to 90% with a modal reduction of 50 to 60% (30 studies).

In a study that was carried out in 1976 for deterrning various types of chronic impairments, functional limitation and disability the most frequently diagnosed condition in both males and females showed that below 35 years of age was chronic teeth problems, the prevalence rate per 1000 being 46.58 and 60.58 respectively, while above 35 years the prevalence rate per 1000 was 118.10 and 132.42 respectively.

Based on these reports, it is now time that steps be taken for the fluoridation of the Jakarta water supply. It is not just to look at the effectiveness of fluoridation in terms of more than a reduction in the DMF, but also at its cost benefit characteristics arising both from the reduction in the amount of caries and the complexity of dental treatment.

Studies that have been done regarding dental health in 5 year old children showed 36% less decay in the fluoridated area and a cost saving in treatment for this group was 29%. The benefits of fluoridation are better reflected in the older age group where there was a 42% reductibn of DMFT and a cost saving in treatment of caries of 50%. Therefore it is of utmost importance that water fluoridation is the preferred method of caries prevention.

Source: Kartari PS and Lelyanti Setiadi (Non communicable disease research centre) NIHR & D, Department of Health, Republic of I Indonesia, Jakarta

References:
  1. Committee on Nutrition (1972). Fluoride as a nutrient. Pediatrics, 49: 3
  2. Leon Singer et al (1979). Total fluoride intake of intants. J. Pediatrics 63: 460.
  3. Muhler, J.C. (1970). Ingestion from foods in fluorides and human health. Monogr. WHO. 32-40.
  4. Wang, M.Q. et al (1988). A ten year study fluondation of water in Singapore. Dental of Malaysia & Singapore.

Sabtu, 05 Agustus 2017

Rahasia Terbang Mundur Burung Kolibri Terungkap


YukViral - Meskipun burung kolibri secara rutin melakukan terbang mundur, hal itu belum pernah dijelaskan rinci secara ilmiah. Peneliti dari Universitas California, Amerika Serikat, Dr. Nir Sapir dan Robert Dudley merekam biomekanik cara terbang burung tersebut dengan menggunakan kamera kecepatan tinggi dan serapan oksigen.

Mereka menemukan terbang mundur burung kolibri menggunakan energi dengan jumlah yang sama untuk terbang maju. Terbang mundur sering digunakan anggota keluarga burung kolibri saat mereka selesai mengisap nektar dari bunga. Dr. Sapir memperhatikan hal itu pada saat pengamatan burung kolibri ketika mencari makan.

"Saya benar-benar melihat hal itu terjadi pada saat burung kolibri selesai mengisap madu dari umpan yang ditaruh di balkon saya. Banyak burung jenis kolibri melakukan hal seperti ini (terbang mundur). Hal ini membingungkan saya bahwa kita sama sekali tidak mengetahui gaya penerbangan seperti ini."

Untuk memahami lebih lanjut tipe penerbangan itu, Dr. Sapir dan Robert Dudley merancang sebuah penelitian menggunakan tabung suntikan yang diisi dengan sukrosa yang disamarkan seperti bunga yang ditaruh dalam saluran udara.

Lima ekor burung kolibri anna (Calypte anna) peliharaan diberi makan secara individu dari tabung suntikan, sedangkan aliran udara dalam saluran angin diaktifkan dan arah tabung suntikan diubah. Kamera kecepatan tinggi menangkap pergerakan mereka.

Para peneliti melihat seberapa banyak oksigen yang dibutuhkan burung kolibri, postur tubuh, dan kepakan sayap pada saat mereka terbang maju, mundur, atau melayang.

Menurut Dr. Sapir penemuan paling penting dari penelitian tersebut ialah terbang mundur menggunakan jumlah energi yang sama dengan terbang maju, keduanya lebih efisien daripada melayang. "Hal ini diketahui dengan menggunakan masker respirator untuk mengukur laju konsumsi oksigen selama makan. Penemuan ini sangat menarik karena kami menduga bahwa terbang mundur akan membutuhkan metabolisme yang lebih besar," jelas Dr. Sapir. 

Ia melanjutkan, "Pada saat terbang mundur, postur tubuh burung lebih tegak. Kami menduga tubuh burung akan mengalami hambatan yang jauh lebih tinggi dan bahwa burung akan perlu lebih banyak gerak untuk melewati hambatan ini." 

Investigasi lebih lanjut menggunakan model seukuran aslinya menunjukkan hambatan selama penerbangan mundur hanya sedikit lebih besar daripada ketika burung terbang maju. Hal ini mungkin karena gerak hambatan relatif diabaikan pada penerbangan dalam kecepatan udara yang relatif lambat, seperti yang mengarakterisasikan penerbangan mundur.

Kamis, 03 Agustus 2017

Bilih, Ikan Primadona Danau Singkarak Mulai Langka

YukViral - Bilih, nama ikan khas di Danau Singkarak. Popularitasnya hampir menyamai danau itu sendiri. Bila orang menyebut danau Singkarak, tentu akan ingat dengan ikan Bilih ini. Dan akhir-akhir ini populasinya semakin menurun. Benarkah ikan ini sudah berkurang?
.
Sama dengan jenis ikan-ikan lainnya, ikan ini punya musim-musim juga. Biasanya ikan Bilih mulai banyak pada bulan Desember sampai Januari. Kalau melihat dari musim ikan di danau ikan-ikan itu melakukan pemijahan pada musim penghujan.

Ikan Bilih yang nama Latinnya Mystacofecus padangensis, memang sedikit unik. Bentuknya yang kecil, paling besar sebesar jari kelingking, hidup bergerombol di muara-muara sungai yang ada di sekeliling danau Singkarak. Setiap malam ikan ini selalu naik ke anak sungai menantang arus.

Menurut cerita nelayan di desa Muara Paninggahan, ikan tersebut naik ke anak sungai dengan tujuan ke Pincuran Batu. Nama sebuah mata air di hulu sungai Muara Paninggahan. Dulunya, ikan ini pemah bersumpah untuk menuju Pincuran Batu sebelum matahari terbit. Karena letaknya yang jauh, dan arus yang deras ikan-ikan ini tidak pemah sampai di sana sampai saat sekarang.

Namun itu hanya cerita orang saisuak (nenek moyang). Ikan Bilih naik ke anak sungai, untuk melakukan pemijahan. Pemijahan dilakukan di pematang-pematang sawah yang ada di pinggiran anak-anak sungai yang banyaknya sekitar 18 anak sungai di sekeliling danau. Sifat ini disebut juga fish behavior, instink yang dibawa sejak lahir.

Belum adanya peraturan penangkapan ikan di danau, membuat nelayan di sana melakukan penangkapan saat ikan bilih melakukan pemijahan di anak sungai. Ikan bilih saat kembali ke danau, biasanya meluncur dengan ekor duluan mengikuti arus. Di muara-muara sungai, orang-orang sudah menunggu dengan berbagai alat tangkapnya.


Di Muara Paninggahan, Kec. X Koto, Kab. Solok dan Muara Sumpur, Kec. Batipuh, Kab. Tanah Datar, orang-orang membuat perangkap di muara sungainya. Perangkap yang disebut alahan berupa anak sungai yang dipecah menjadi 10 alur. Pada masing-masing alur di pasang perangkap yang terbuat dari ijuk dan enau, 4 lapis masing-masing alur. Dari yang jarang, gunanya menyaring sampah, sampai yang paling rapat. Pada malam hari ikan ini dibiarkan naik ke hulu sungai untuk bertelur. Menjelang matahari terbit, perangkap di pasang. Alur sungai ditutup dan dipindahkan ke saluran lain untuk mengambil ikan yang ada dalam perangkap.

Bila di dua desa itu anak sungainya dangkal. Maka pada desa-desa lain dimana sungainya dalam dan lebar, orang-orang mengambil ikannya setelah ikan itu di racuni. Racun yang dipakai biasanya tubo langkisau - terbuat dari kulit kayu langkisau - dan putas. Ada juga yang memasang langli jaring ikan bilih - di muara-muara sungai.

Dari cara yang dilakukan nelayan disana dengan jalur pintas, hasilnya memang selalu ada. Tapi cara itu sendiri, tanpa disengaja telah mengurangi populasi ikan bilih. Tidak saja ikannya mati atau tertangkap oleh cara di atas, tapi telurnya juga ikut hancur. Telur yang disimpan di sela-sela rumput atau batu di pinggiran alahan, hanyut saat dilakukan pembersihan alahan atau muara-muara. Di muara sungai, telur ini jadi santapan ikan predator, seperti ikan Sasau, Assang, Garing - ikan asli danau - atau ikan Nila dan Tawas - ikan budidaya dari Dinas Perikanan Singkarak.

Pada beberapa tempat, seperti desa Padang Lawas, Batu Tebal, telur-telur ikan dari yang tertangkap malah bisa dijual dalam bentuk siap dimakan jadi lauk. Telur ini dimasak dengan santan kelapa. Menangkapnya yang tidak begitu susah, membuat nelayan lebih senang menangkap ikan bilih. Dari 13 desa di pinggiran danau Singkarak, 420 orang nelayan yang ada, umumnya lebih sering menangkap ikan bilih. Alasannya, ikan yang besar susah di dapat. Lagi pula ikan-ikan ini seperti tidak punya musim.

Ikan bilih yang tergolong ikan seribu ini memang cepat sekali berkembangnya. Satu ikan bisa menghasilkan ribuan anak ikan. Anak ikan ini terbungkus di dalam busa, yang ditebar dekat air yang keruh, disembunyikan dari santapan ikan yang lain. Dari sekian banyak telur dan anak ikan yang jadi santapan ikan besar, tentu ada yang lolos dan berkembang biak.

Namun sampai seberapa lama ikan ini sanggup bertahan, dari proses itu? Lambat laun ikan ini akan punah, kalau penangkapannya masih tetap dilakukan saat ikan tersebut mau bertelur. Siapa yang peduli dengan keberadaannya, bila si nelayan punya pikiran ikan bilih banyak di muara-muara sungai di Singkarak. Dan konsumen hanya mengetahui untuk mencari ikan bilih yang kering, tinggal datangi pasar ikan di Solok, Bukittinggi, Padang atau desa-desa di pinggiran danau Singkarak, seperti Ombilin. Masihkah ikan bilih primadona ikan danau Singkarak.untuk masa datang?